Selain event tahunan memeriahkan sedekah laut, pembelajaran kesenian yang mirip Sumo, gulat tradisional dari Jepang itu juga dilakukan kepada anak- anak sekolah Dasar (SD).
Sugiyanto, pegiat sekaligus Ketua Paguyuban Pathol Sarang pernah menjabat sebagai Kepala Sekolah SDN 1 Temperak.
mengungkapkan mulai membuka ekstra kulikuler pathol Sarang sejak tahun 1985. Sebelum mengajarkan kepada anak anak, dirinya selama 3 tahun.
“Saya sebelum mengajar anak- anak saya belajar dulu dengan ahlinya pathol sarang dengan mbah Haji Miran mulai 1982 sampai 1985. Setelah saya tahu cara- caranya pathol gimana baru saya mendidik anak- anak untuk melestarikan pathol, ” tuturnya.
Sugiyanto yang kini sudah pensiun, menambahkan anak- anak yang sudah memungkinkan ikut belajar pathol minimal kelas 4 sampai 6 SD. Selain itu anak- anak tersebut juga harus mendapat restu atau persetujuan dari orang tuanya untuk belajar pathol.
“Karena ada resiko keseleo atau bagaimana jadi harus mendapat ijin dari orang tua, ” ujar pendiri paguyuban pathol sarang bernama Wahyu Budoyo itu.
Dalam pathol sarang, kuda- kuda menjadi salah kunci untuk memenangkan pertandingan. Dalam teknik pathol sarang dilarang menendang maupun memukul.
“Tekniknya tidak boleh menjegal, menendang, memukul , menggigit. Semua dari kekuatan tangan untuk membanting lawan, ” terangnya.
Khusus pathol Sarang anak pernah dipentaskan saat Hari Jadi Kabupaten Rembang. Momen tersebut bermanfaat untuk semakin mempopulerkan kesenian asal Rembang yang patut dilestarikan. (Mif/Rud/Kominfo)