Permasalahan Anak Tidak Sekolah (ATS) usia 7-18 tahun yang belum terdaftar pada Dinas Pendidikan dan data Emis di Kementrian Agama Rembang masih banyak. Beberapa alasan mereka tidak sekolah diantaranya karena masalah ekonomi, anak bekerja, anak dalam pernikahan anak/ibu remaja , anak yang ada di daerah 3T (Terluar, Terdepan,Tertinggal), anak penyandang disabilitas dan perkawinan usia anak.
Perkawinan anak adalah perkawinan yang dilakukan oleh anak-anak usia kurang dari 18 tahun baik itu dengan anak sebaya atau orang yang lebih tua. Sesuai dengan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 23 Tahun 2002, anak didefinisikan sebagai seseorang yang belum berusia 18 tahun, termasuk yang masih di dalam kandungan.
Kepala Badan Perencanaan Pembangunan Daerah (Bappeda) Rembang, Dwi Wahyuni Hariyati menyebutkan perkawinan anak mengakibatkan dampak negatif bagi anak, terutama bagi pendidikannya, kesehatan, ekonomi yang dapat menyebabkan munculnya kemiskinan baru atau kemiskinan struktural. Belum lagi dampak lainnya seperti Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT), perdagangan orang, serta pola asuh yang salah terhadap anak sehingga seluruh hak-hak anak bisa terenggut.
Tentunya dengan adanya kasus perkawinan anak ini berimbas pada pendidikan. ATS akan semakin banyak lantaran usia anak merupakan usia pelajar yang harus mengenyam Pendidikan.
Perkawinan anak mengakibatkan berakhirnya masa Pendidikan pelaku perkawinan anak, hal ini lantaran kondisi yang dirasa sudah tidak dibutuhkan lagi ketika sudah menikah. Tentu hal ini sangat disayangkan, padahal mereka masih usia wajib belajar.
Untuk itu, Pemkab Rembang bersama Pemprov Jateng, Unicef dan LPPM Institut Teknologi Dan Bisnis (ITB) Semarang melakukan penandatanganan MOU (Memorendum of Understanding) untuk melakukan penanganan bagi Anak Tidak Sekolah di Rembang dengan program GAS Pol 12 atau Gerakan Ayo Sekolah 12 Tahun yang dilaunching di Hotel Pollos pada Rabu, (15/9/2021).
“Dalam rangka percepatan penanganan anak tidak sekolah, Pemkab Rembang melalui Bappeda bekerjasama dengan Pemprov Jateng, Unicef dan LPPM Institut Teknologi Dan Bisnis (ITB) Semarang, melakukan replikasi kegiatan penanganan ATS gerakan ayo sekolah 12 tahun kita singkat gas poll 12,” jelasnya.
Program gaspoll 12 tahun ini diawali dengan pelatihan selama tiga hari yang diikuti oleh empat desa percontohan masing- masing 3 orang, yakni Mojosar Kecamatan Sedan, Sridadi Kecamatan Rembang, Desa Jeruk Kecamatan Pancur, Desa Sidorejo Kecamatan Pamotan. Selain itu pelatihan juga diikuti perwakilan dari 10 kecamatan yang tidak ditunjuk sebagai percontohan.
Setelah pelatihan mereka akan melakukan pendataan sebagai awal gerakan tersebut. Kemudian mereka akan mendorong anak- anak usia di bawah 12 tahun di desanya masing-masing untuk kembali bersekolah, baik di sekolah non formal maupun formal.
Sementara itu, Wakil Bupati Rembang Mochamad Hanies Cholil Barro’ dalam sambutannya menyampaikan, indikator untuk menaikkan indeks pembangunan manusia (IPM) salah satunya adalah pendidikan. Oleh karena itu program Gass Pol 12 ini sangat penting dan selaras dengan visi misi darmasiswa.
Gus Wabup mengungkapkan pencapaian Angka Partisipasi Murni (APM) di Kabupaten Rembang mengalami penurunan khususnya untuk siswa sekolah. Pada usia 7-12 tahun APM mencapai 99,54 persen ditahun 2016, dan di tahun 2020 turun 3 persen, menyisakan 96,54 persen.
“Bahwa masih ada dan banyak sebenarnya anak yang tidak sekolah di Kabupaten Rembang. Karena di tahun-tahun terakhir ini musti bener-bener kita gas pol. Karena brending yang kita tawarkan sesuai dengan di pemerintahan kita adalah Rembang sebagai kota santri, kota pendidikan, dan kota industri,” terangnya.
Wabup meyakini program yang dilakukan secara luring dan daring ini sangat bermanfaat untuk mengembalikan anak tidak sekolah di Kabupaten Rembang untuk kembali sekolah. (Mif/Rud)