Angka kematian ibu dan bayi di Kabupaten Rembang, tergolong masih tinggi. Menyikapi hal tersebut, Dinas Kesehatan Kabupaten Rembang terus menggencarkan program Telponi.
Telponi merupakan akronim dari Temokno, Laporno dan Openi (Temukan, Laporkan dan Rawat- red).
Sarwoko Mugiyono, Sub Koordinator Promosi Kesehatan Dan Pemberdayaan Kesehatan Dinas Kesehatan, Kamis (25/8/2022) menjelaskan tentang program Telponi ini yang pertama yaitu tahapan ketika menemukan bayi baru lahir dam ibu hamil dengan resiko tinggi (Resti), hendaknya langsung melaporkan ke pihak Puskesmas setempat.
Selanjutnya dikatakan Sarwoko Bayi atau Ibu hamil Resti tersebut akan mendapatkan pendampingan khusus dari Fasilitas Kesehatan (Faskes) atau petugas terkait.
“Terhadap Ibu hamil dan bayi resti ini kita akan merawat, menjaga dan mendampingi. Jangan sampai ibu resti ini tidak tertangani, penanganannya pun harus benar- benar sesuai prosedur, sehingga tidak lagi terjadi kasus kematian ibu, ” ujarnya.
Lebih lanjut Sarwoko menyebutkan bahwa resiko tinggi yang dialami ibu hamil ini bisa saja karena sudah bawaan atau keturunan. Untuk itu perlu ada antisipasi penanganan bagi ibu hamil resti secara khusus.
“Semuanya ada jalan keluar, ada langkah alternatifnya. Sepanjang dikomunikasikan.”
Begitupun kepada sang ibu hamil, mereka harus mengutamakan keselamatan sang anak. Tidak perlu malu atau canggung untuk dapat memeriksakan kondisi kehamilan.
Disebutkan Sarwoko kepedulian tetangga juga sangat membantu dalam upaya menekan angka kematian ibu melahirkan. Di tingkat desa ada kader Telponi dan seorang bidan yang siap mengawal program Telponi.
Selain itu Dinas Kesehatan juga menggandeng Dokter spesialis anak dan kandungan untuk mendukung program Telponi. Mereka memiliki wilayah binaan yang tak hanya 1 kecamatan saja.
“Dokter kandungan kan yang banyak di Rembang dan Lasem, yang jauh- jauh kan tidak ada pemantauannya. Nah sekarang mereka punya wilayah binaan , disana diupayakan tidak ada kematian bayi dan ibu melahirkan, ” ungkapnya.
Sedangkan terkait kasus angka kematian ibu setiap tahun fluktuatif. Pada tahun 2017 ada 14 kasus, 2018 mencapai 9 kasus, 2019 turun 7 kasus, 2020 naik jadi 13 kasus, kemudian tahun 2021 turun drastis hanya 6 kasus dan hingga bulan Agustus tahun 2022 ada 5 kasus.
“Idealnya kematian ibu tidak ada atau paling nggak di bawah 5 kasus. Kita sedang terus berupaya kalau bisa 0 kasus, “ imbuh sarwoko.
Sarwoko menimpali untuk angka kematian bayi, selama tahun 2017 sebanyak 135 kasus, 2018 ada 149, tahun 2019 naik 164 kasus, di 2020 ada 138, kemudian tahun 2021 turun 97 kasus dan hingga bulan Agustus 2022 masih 63 kasus.
“semoga sampai sisa waktu akhir tahun, nggak ada tambahan lagi. Kita akan monitoring rutin, “ terangnya.
Dari hasil evaluasi, penyebab kematian ibu selama tahun 2021, paling dominan adalah pengaruh pandemi Covid-19, disusul faktor pendarahan dan eklampsia (kejang-kejang).
Sedangkan faktor pemicu kematian bayi, diantaranya asfiksia (kekurangan oksigen), bayi berat badan lahir rendah (BBLR) dan adanya kelainan. (Mif/Rud/Kominfo)