Pemerintah Kabupaten Rembang

Yopia Jajanan Khas Lasem Berusia Ratusan Tahun

Kue Yopia
Kue Yopia

Batik tulis selama ini menjadi salah satu yang paling dikenal oleh masyarakat luas dari Lasem, sebuah kecamatan di Kabupaten Rembang. Tidak banyak yang tahu bahwa di daerah Lasem ada jajanan khas yang otentik sejak ratusan tahun silam.

Jajanan tersebut yakni Kue Yopia, kue kering berkulit tipis dengan isian gula Jawa. Mungkin bisa dibilang yopia merupakan akulturasi kuliner Tiongkok dengan Jawa.

Jajanan tradisional yang diproduksi di desa Karangturi ini jika dilihat dari kulitnya saja dibuat menggunakan bahan terigu khas makanan Tiongkok, sedangkan isiannya menggunakan gula aren yang begitu identik dengan kuliner Jawa. Sekilas, yopia mirip nopia khas Banyumas atau bakpia dari Yogyakarta, namun kue ini lebih berongga dan besar.

Rumah produksinya berupa bangunan rumah tua yang memiliki arsitektur tionghoa. Jika datang ke sana, maka kita akan disambut seorang nenek yang sudah berusia 77  bernama Waras.

Waras merupakan generasi ketiga yang meneruskan usaha pembuatan kue yopia secara turun menurun dari sang buyut Tan Tjiem Liang yang merupakan generasi pertama.

Usaha pembuatan kue ini awalnya untuk memenuhi kebutuhan menghidupi keluarga sehari-hari. Yang memang sepertinya dimaksudkan juga untuk diteruskan oleh keturunannya.

“Mbah sama orang tua saya dulu tidak pernah bercerita sejarah kue ini bagaimana, bilangnya cuma usaha ini buat makan sehari-hari, tidak perlu cari kerjaan lain, gitu aja pesannya,” kata Waras.

Dalam membuat yopia wanita yang memiliki nama tionghoa Siek Tian Nio ini, dibantu anak bungsunya yang bernama Tony Haryant. Selain itu mereka juga memiliki satu karyawan untuk bagian pengemasan.

Hal unik terungkap, bahwa proses pembuatan yopia mulai dari proses pengadonan hingga pemanggangan harus dipegang oleh keturunan dari keluarga ini. Hal itu dimaksudkan agar  kelak keturunannya bisa meneruskan usahanya.

Tan tjiem Liang merupakan generasi pertama yang mengajarkan ilmu pembuatan kue yang legendaris ini. Waras menerangkan proses penjualannya pun dulu dijual keliling menggunakan toples dari rumah ke rumah dengan jalan kaki.

Mungkin bagi warga Tionghoa tidak merasa asing dengan jajanan kue yopia ini. Pasalnya dari bentuknya saja kue ini mirip dengan makanan khas tionghoa seperti bakpao dan bakpia.

Di sisi lain , tantangan dihadapinya yakni  mengenalkan kue ini kepada orang Jawa. Pasalnya  tidak sedikit yang menganggap kue ini haram.

“Dulu banyak yang bilang kue ini haram, tidak  ini kue halal, semua bisa makan. Bahannya saja cuma tepung sama gula jawa (gula aren) tidak ada campuran bahan lainnya,” jelasnya.

Meskipun dirinya terus menjaga keotentikan kue yopia dari segi rasa dan bentuk, namun ada beberapa identitas yang terpaksa harus ia hilangkan. Kue yopia yang dahulu pada bagian tengah kue memiliki cap berbentuk kupu-kupu sebagai identitas produk kue yang diproduksi. Karena ada permintaan dari pembeli, akhirnya cap tersebut tidak diberi lagi.

Masa-masa berat pernah ia alami saat ditinggal sang suami yang berusia 50 tahun. Waras harus menghidupi 4 anaknya yang saat itu masih sekolah semua. Melalui kue yopia dirinya berusaha untuk memenuhi kebutuhan keluarganya. Berjualan dari rumah ke rumah hingga kota ke kota menggunakan transportasi bus dan keliling jalan kaki menawarkan yopia.

“Dulu sangat susah, harus keliling bawa kardus menawarkan. Sampai naik bus jualan ke Surabaya juga,” bebernya.

Sementara itu Tony Haryanto anak bungsunya yang juga merupakan penerus generasi ke 4 mengatakan jika diingatkan kembali masa-masa susah dulu, mami (sapaan untuk ibunya) pasti menangis. Pasalnya Ia tahu persis perjuangan maminya karena dulu dirinya juga ikut berjualan keliling bersama maminya.

“Ya gitu, mami kalau diingatkan perjuangannya dulu pasti nangis. Karena berat sekali perjuangannya membesarkan 4 anak sendiri jualan yopia,” kata dia.

Sejak kecil Tony selalu ikut maminya untuk keliling berjualan kue yopia. Meski berjualan hingga keluar kota Tony tidak pernah absen untuk selalu mendampinginya.

“Dulu pernah tempat minum saya jatuh terus terlindas kendaraan sampai pecah. Saya nangis tidak mau jalan lagi sampai dibelikan yang baru,” bebernya.

Tony mengaku saat ini sudah memiliki pelanggan tetap berjumlah puluhan yang selalu memborong kue yopia. Mereka biasanya adalah para pengusaha pusat oleh-oleh diberbagai daerah Jawa Tengah dan Jawa Timur seperti Semarang dan Surabaya. Namun demikian usaha Tony untuk memasarkan jajan ini juga tidak mudah, penolakan pun pernah ia rasakan juga.

“Dulu saat saya memasarkannya di Kudus di tempat oleh-oleh pernah ditolak, bilangnya ini makanan apa, enak apa tidak, bentuknya kok gini. Tapi sekarang dia malah yang cari saya, mungkin sudah tahu rasanya terus pengen order untuk tempat oleh-olehnya,” terangnya.

Tidak sedikit kunjungan dari mahasiswa hingga media nasional yang datang untuk  menyaksikan langsung proses pembuatan kue legendaris itu. Tidak hanya mendapat tamu dari dalam negeri, tempat usaha yang juga merupakan rumah leluhurnya itu juga pernah dikunjungi wisatawan dari luar negeri, diantaranya Malaysia dan negeri tirai bambu Jepang. (Mif/Rud/Kominfo)

Exit mobile version